Sunday 16 November 2014

Jingga Citarum



Senja di sore ini perlahan membaurkan biasan langit yang memacarkan pantulan diatas air yang tak beriak di sungai ini. Pandangan lepas yang tak dapat ku hindari dari ketenangan arus air yang perlahan membuatku berpikir seberapa kedalaman sungai ini. Akupun menuruni tanggul hingga aku benar-benar berdiri di tepian sungai.

Pertama kali aku berdiri di tepi sungai Citarum ini, sungai yang menjadi pembatas antara Karawang – Bekasi ini membentang di tanah Pakisjaya yang aku pijak saat ini.
Masyarakat kecamatan Batujaya dan Pakisjaya memanfaatkan sungai Citarum dengan membuat eretan-eretan, yaitu semacam perahu kecil yang menjadi alat penyeberangan masyarakat Batujaya dan Pakisjaya ke Bekasi. Sebab akses ke perkotaan untu memenuhi kebutuhan logistik lebih dekat ke Cikarang Bekasi daripada ke Kota Karawang sendiri. Banyaknya eretan sepanjang sungai Citarum menambah nuansa khas dari sungai batas Karawang – Bekasi ini.
Sejauh ini aku datang ke daerah ini, dengan jalanan yang hanya sebagian beraspal di beberapa desa saja. Meski masih banyak masyarakat yang mandi ataupun mencuci di sungai irigasi, namun tak sampai aku meilaht sampah terhanyut di sungai ini. Air yang masih bersih dan bening hingga memancarkan bauran-bauran dan pantulan-pantulan bayangan layaknya cermin ciptaan Sang Maha Kuasa.


Kerikil yang masih tajam diujung daratan padas yang kuat menahan beban tubuhku yang masih berdiri di ujung tepian sungai ini. Tanggul yang dimana tempat aku berdiri saat ini cukup landai hingga aku bsa menyentuh dinginnya air sungai Citarum. Sejenak aku berdiri dengan memejamkan mata. Aku mulai merasakan arah angin yang berhembus menggerakkan ujung jilbabku.
Pikiranku mulai menerawang lepas ke masa lalu, bagaimana ketika sungai ini menjadi saksi perlawanan masyarakat Karawang dan Bekasi terhadap pasukan Belanda. Sungai batasan Karawang yang diusung dalam sejarah yang diabadikan dalam peristiwa Rengasdengklok kini ada di ujung pandanganku.
Sungai Citarum bermuara di desa Tanjung Pakis, salah satu desa yang masih menjadi bagian dari Kecamatan Pakisjaya. Muara sungai ini memang tak seindah dari apa yang aku pijak saat ini. Sebab daerah yang dikenal dengan tanah pakis ini, memang sarat dengan masalah lingkungan. bahkan diujung muara sungai ini telah menimbulkan abrasi di dusun Bungin, desa Tanjung Pakis.



Angin semakin semilir dengan matahari yang semakin merendah hingga memberikan pancaran warna jingga di riak air sungai Citarum. Beberapa temanku mulai turn dari tanggul dan ikut berdiri di tepian padas sungai ini.
Cermin air yang tampak sangat tenang, menggoda kami untuk bermain melemparkan batu. Kerikil di sekitar kaki kami satu persatu kami lemparkan dengan beberap trik yang diajarkan sahabat kami Mustaf. Bagaimana melemparkan batu dengan hanya menyentuh beberapa permukaan air sebelum ia tenggelam ke dalam air. Permainan ini membuatku sangat tertarik, begitu juga dengan Uni Fitri dan Mbak Dian. Kami pun tertawa bersama, saling menertawakan, saling memuji, dan bahkan saling mengejek hasil dari lemparan batu.

Citarum, bening air yang masih terjaga ini semoga akan selalu tetap memnatulkan bayangan-bayangan masa depan. Tak hanya kisah masa lalumu yang akan diingat, ataupun fungsimu yang hanya sebagai pembatas antara Karawang Baekasi. Lemparan batu kami yang tenggelam di badanmu, terselip doa dan harapan kami. Semoga kami mampu memberikan pengabdian terbaik di tanah Pakisjaya ini.
Aku sadar betapa beruntungnya mengenal lebih dekat bagaimana wangi angin yang berhembus disetiap alunan arus sungai ini. Helaian tenun rok-ku mulai tersibak dengan angin yang semakin kencang. Lalu aku menoleh kearah barat muara sungai ini dan subhanallah….
Tiada penciptaan yang lebih indah dari biasan jingga senja yang seolah tertelan aliran air di ujung muara…


Kami akan terus mengingat moment berharga ini, senyum yang saat ini terpancar akan tetap merekah mengiringi langkah kami menggapai masa depan kami esok hari. Kami yakin tulisan kecil ini akan mengingatkan kami pada bagaimana tanah Pakisjaya mengajari kami banyak hal dan mendewasakan kami.


Qoriah.

0 komentar:

Post a Comment